Categories
Berita Slider

Perusahaan Skala Kecil, Belum Sanggup Bangun Smelter

SAMARINDA – Akan diterapkannya larangan ekspor batubara mentah mulai Januari 2014 berdasarkan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), diharapkan oleh pengusaha batubara di Samarinda agar dikaji kembali oleh pemerintah. Sekretaris Asosiasi Pengusaha Batubara Samarinda (APBS) Umar Vaturusi mengatakan, dampak yang akan terasa adalah banyaknya perusahaan yang memberhentikan pekerjanya, bahkan bisa aja ada nanti terjadi PHK massal. Jadi pemerintah diminta untuk miliki solusi terhadap dampak dari UU tersebut.

“Saat ini pelaksanaannya masih tarik ulur karena ada banya pengusaha yang ingin pemerintah untuk menunda penerapan UU itu. Karena pada perusahaan kecil akan sangat terasa sekali dampak dari penerapan UU minerba ini. Sementara di Samarinda pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) masih rata-rata masih dalam skala kecil,” ucap Umar, siang kemarin.

Sementara itu, untuk mengusahakan ekspor batubara yang harus diolah lagi atau dimurnikan, pengusaha harus siapkan modal yang tidak sedikit. Pasalnya, untuk membangun pabrik pengolahan batubara beserta dengan menyiapkan teknologi yang dibutuhkan. Sehingga pihaknya khawatir, bila pengusaha harus melakukan kewajiban pemurnian PHK besar-besaran akan terjadi, karena biaya produksi yang ditanggung perusahaan sangat besar.

“Mengingatkan agar implementasi UU Minerba jangan sampai berdampak kepada pemutusan hubungan kerja secara massal. UU harus dilihat dari semua aspek. Memang UU ini baik tapi harus diperhatikan dampak tenaga kerja tersebut,” paparnya.

Ia melanjutkan, batubara selain diolah menjadi briket juga dapat dijadikan sebagai sumber gas. Pengusaha hanya menambang gas dari batubara yang memiliki kalori rendah. Karena batubara berkalori rendah untuk diekspor pun juga tidak akan laku. “Pengolahan bentuk gas ini sudah dikembangkan di wilayah Papua. Apalagi dua tahun belakangan ekspor dan produksi batubara menurun, karena ada produsen batubara dari negara lain,” tuturnya

Diberitakan sebelumnya, berdasar UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) No 4/2009, perusahaan tambang tidak boleh lagi mengekspor hasil dalam bentuk mentah mulai 2014. Tujuannya agar bahan mentah terebut bisa diolah di dalam negeri dan baru diekspor dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi, sehingga nilainya lebih tinggi. Namun, aturan itu banyak ditentang perusahaan tambang. Meski sudah diberi waktu lima tahun sejak 2009 sampai 2014, nyatanya hanya sedikit perusahaan yang betul-betul membangun smelter sejak 2009. Akibatnya, ketika aturan larangan hampir diberlakukan, banyak yang menyatakan belum siap dan minta perpanjangan waktu.

Sementara Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) akan ajukan uji materil atau judicial review terhadap UU Minerba. Uji materi tersebut terkait dengan ditetapkannya larangan ekspor bijih mineral yang mulai berlaku pada 12 Januari 2014. Menurut Ketua Umum Apemindo, Poltak Sitanggang, uji materi ini dilakukan karena larangan ekspor akan menganggu kinerja industri tambang mineral nasional.

“Kami akan ambil tindakan hukum dengan melakukan judicial review terhadap UU No. 4 Tahun 2009 ke MK. Karena industri tambang mineral merasa belum siap di tengah gejolak ekonomi yang ada saat ini,” ujar Poltak Sitanggang belum lama ini.

Selain itu, Poltak berpendapat pemerintah telah melanggar UU 4/2009 itu sendiri. Pasalnya, UU itu mengamanatkan agar renegosiasi kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) dibereskan setelah peraturan dikeluarkan satu tahun. Menurut Poltak, itu artinya pemerintah harus mendahulukan penyelesaian renegosiasi sebelum menetapkan pelarangan ekspor bijih mineral.

Poltak mengatakan, hingga kini pemerintah belum menyelesaikan permasalahan peralihan izin KK ke izin usaha pertambangan (IUP). Mekanisme IUP yang digunakan perusahaan tambang nasional telah berjalan delapan tahun. Sementara itu, mekanisme KK sudah berjalan berpuluh tahun dan belum satu pun perusahaan KK mengubah mekanisme izin sesuai mandat pemerintah.

“Apa pemerintah sudah lakukan itu? Dengan belum diselesaikannya permasalahan peralihan izin KK ke IUP, sebenarnya pemerintah sendiri telah melanggar aturan UU,” ungkapnya.

Menurut Poltak, pada dasarnya industri tambang mineral nasional mendukung kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi, ia menilai kebijakan yang telah diundangkan tersebut seharusnya dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur penunjang dalam membangun smelter. Poltak menyampaikan bahwa banyak pengusaha yang merasa terbebani karena selain harus membangun smelter, merekajuga harus membangun power plant. Oleh karena itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberi kelonggaran ekspor bijih mineral pada 12 Januari 2014. Sebab, ia menilai pelarangan ekspor mineral mengganggu kinerja mineral nasional.

“Kami ini para pengusaha tambang, selain ada tuntutan bangun smelter, juga tuntutan bangun power plant,” ungkap Poltak. (pms/ho/kk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *