Categories
Berita Slider

Smelter, Kebutuhan Dasar di Kaltim

SAMARINDA – Merespons larangan ekspor batu bara mentah mulai 12 Januari ini berdasarkan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Rai Rangkuti mengatakan smelter atau pemurnian batubara telah menjadi kebutuhan dasar di Bumi Etam.

Hal itu juga atas tanggapan hasil evaluasi dan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Kaltim (LSK) di Kaltim. Dari hasil survei tersebut, secara umum ada persoalan empati yang harus ditangani. Ada empat kebutuhan mendasar yang dibutuhkan Kaltim, yakni terkait persoalan pendidikan, kesehatan, transparansi, dan infranstruktur. “Termasuk infranstruktur yang didesain pemerintah nasional, contohnya pembangunan smelter pada daerah produksi tambang besar,” ungkapnya.

Karena Kaltim merupakan salah satu daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, pengadaan smelter menjadi sangat penting jika merunut pada larangan ekspor batu bara mentah yang mesti diolah terlebih dahulu sebelum diekspor keluar. Namun, pada kenyataannya saat ini belum ada satupun daerah yang mampu membangun smelter di Indonesia. “Kewajiban membangun smelter bukan pada Pemerintah Daerah (Pemda), tapi pada perusahaan yang nongkrong di Kaltim,” tutur Rai.

Pemda dalam hal ini menurutnya bertugas untuk ‘memaksa’ para perusahaan yang mengeruk emas hitam di Kaltim untuk membangun smelter di Kaltim. “Pembangunanan smelter bukan pakai uang Pemda, tugas Pemda hanya memastikan bahwa UU tersebut berjalan, entah bagaimana caranya,” lanjutnya.

Meskipun instruksi pembangunan smelter tersebut berangkat dari pemerintah pusat, tapi secara detail juklak maupun juknis belum ada untuk daerah. Dirinya khawatir Pemda tidak punya inisitaif. Seharusnya pemerintah daerah kaya batu bara seperti Kaltim sadar bahwa dengan menggunakan smelter bukan merugikan, namun malah akan menguntungkan. Pasalnya di dalam batu bara terkandung mineral lain yang bisa diuangkan. Dengan adanya smelter dapat memilah batu bara tersebut jadi bukan hanya batu bara mentah yang biasa di ekspor. “Ini juga harus diperhatikan. Jangan sampai Indonesia hanya membangun satu atau dua smelter. Bayangkan smelter dibangun di Papua atau di Jawa. Masa’ batu bara Kaltim dibawa ke sana dulu baru diekspor? Biaya transportasi juga akan bengkak. Saya tantang Kaltim untuk membuat smelter di sini sebagai provinsi pengahsil batu bara terbesar. Potensi masih terbuka lebar, Pemda harus ambil langkah Insiatif,” ujarnya.

Mau tidak mau Pemda harus melakukan upaya besar menekan perusahaan tambang di Kaltim dengan menyadari kewajiban untuk membangun Smelter. “Kumpulkan semua perusahaan tambang, carikan solusi terbaik. Apakah mereka harus urunan untuk membangun satu smelter di Kaltim” tandasnya.

Sementara Fahmy Radhi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta menilai pemerintah tidak solid dan terkesan saling bertentangan terkait larangan ekspor minerba ini. Fahmy memaparkan, kendati sudah sangat terlambat, larangan ekspor mentah  diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap  hasil tambang Minerba di Indonesia.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba tidak akan diundur lagi. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi hasil tambang, juga berkaitan dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang.

Namun, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009. Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah akan menurunkan volume ekspor, karena 62 persen dari total ekpsor Indonesia berasal dari ekspor hasil tambang. Lebih lanjut Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah memberikan dampak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkaan defisit neraca perdagangan. (fac/kk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *