Categories
Berita Media Slider

Soal Larangan Ekspor, Pemerintah Belum Kompak

TENGGARONG – Belum lagi larangan ekspor batubara mentah diberlakukan mulai 12 Januari 2014, tahun 2013 pun sudah menjadi tahun yang buruk bagi pengusaha dan pekerja tambang batubara di Kaltim.

Anjloknya harga batubara di pasar internasional membuat pengusaha emas hitam tidak bisa menutupi ongkos produksinya. Sehingga langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu opsi yang harus diambil. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kukar, sepanjang 2013 ini tercatat 1.439 karyawan tambang di PHK oleh 14 perusahaan yang wilayah operasinya di Kukar.

Kepala Disnakertrans Suriansyah HM melalui Kabid Hubungan Industrial dan Syarat-sayat Kerja, Panut mengungkapkan, rata-rata perusahaan yang melakukan PHK adalah kontraktor jasa pertambangan, bukan pemilik atau pemengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Meski demikian, Panut enggan menyebutkan 14 nama perusahaan tersebut. “Anjloknya harga batu bara sejak awal 2013 ini mengakibatkan PHK kepada 1.439 karyawan di Kukar,” ucapnya saat ditemui Koran Kaltim, kemarin.

Jumlah ini dua kali lebih banyak ketimbang jumlah karyawan yang di PHK pada 2012 lalu. “2012 lalu itu sekitar 500 karyawan yang di PHK. Namun di 2013 ini ada 1.439 karyawan yang di PHK. Sedangkan pada 2011 lalu sangat sedikit karyawan yang di PHK, namun jumlahnya saya lupa. Tapi yang pasti sangat sedikit karena saat itu harga batu bara masih sangat normal,” ucapnya.

Dari 14 perusahaan tersebut, banyak perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Samboja yang melakukan PHK karena di wilayah tersebut, sebab tingkat kalori di kecamatan tersebut dinilai rendah. “Untuk pembayaran pesangon, hampir semua sudah selesai. Hanya beberapa yang masih belum tuntas,” akunya.

Rata-rata perusahaan yang melakukan PHK, kata Panut, terlebih dahulu merumahkan karyawannya meski sebagian perusahaan langsung melakukan PHK. Sedangkan untuk kasus PHK yang sempat bermasalah ada 87 kasus dan melibatkaan 850 karyawan. Kasus ini dipermasalahkan karyawan seperti kasus pembayaran pesangon, uang lembur dan lain-lainnya.

Ia juga menilai larangan ekspor batu bara mentah mulai Januari 2014 berdasarkan UU 4/2009 tentang Minerba, maka akan menarik banyak lagi karyawan untuk bekerja. Sebab dengan adanya larangan mengekspor batu bara mentah maka perusahaan akan membuat pabrik pengolahan atau pemurnian batubara.

“Dengan adanya pabrik itu maka perusahaan akan segera mencari tenaga kerja. Di sana kesempatan untuk menyerap tenaga kerja. Jadi perusahaan selain membutuhkan karyawan tambang juga membutuhkan karyawan pabrik. Saya mendukung diberlakukan, meski pihak perusahaan pemengan IUP atau kontraktor jasa penambangan akan sedikit terbebankan. Namun ini adalah kebijakan pusat dan tentu bermaksud baik,” harapnya.

TIDAK KOMPAK

Sementara Fahmy Radhi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta menilai pemerintah tidak solid dan terkesan saling bertentangan terkait larangan ekspor minerba ini. Fahmy memaparkan, kendati sudah sangat terlambat, larangan ekspor mentah  diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap  hasil tambang Minerba di Indonesia.

“Ironisnya, di tengah penolakan larangan ekspor Minerba yang masif, sikap pemerintah justru tidak solid dan terkesan saling bertentangan,” ujarnya.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba tidak akan diundur lagi. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi hasil tambang, juga berkaitan dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang.

Namun, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009. Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah akan menurunkan volume ekspor, karena 62 persen dari total ekpsor Indonesia berasal dari ekspor hasil tambang. Lebih lanjut Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah memberikan dampak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkaan defisit neraca perdagangan. ”Sedangkan Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan untuk meredam gejolak sosial dan ekonomi, pemerintah  akan memberikan kelonggaran pembatasan ekspor bijih mineral bagi perusahaan yang seius membangun smelter di Indonesia,” tukasnya. (ami/rep/kk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *