Categories
Berita Media

Donasi Untuk Banjir Samarinda

Banjir Samarinda yang melanda kota tanggal 20 – 22 Oktober 2021 berdampak lebih dari 1800 keluarga di kota Samarinda.

Barakumala Group berkesempatan membagi donasi berupa beras, beberapa kotak indomie dan sembako untuk korban yang terdampak di wilayah bengkuring, Samarinda.

Categories
Berita Media

Maret 2018, HBA Meningkat 1,16 Persen

JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Harga Batu Bara Acuan (HBA) Maret 2019 meningkat 1,16 persen jika dibandingkan bulan sebelumnya. Harga itu tertinggi sejak Mei 2012 sebesar US$102,12 per ton.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Sri Rahardjo mengatakan, HBA Maret 2018 sebesar US$101,96 per ton. Adapun, HBA bulan sebelumnya tercatat US$100,69 per ton. HBA tersebut merupakan harga untuk penjualan langsung (spot) periode 1 Maret-31 Maret pada titik serah penjualan secara Freight on Board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan, kenaikan HBA lebih banyak disebabkan oleh tingginya curah hujan yang mengganggu produksi. “Produksi (batubara) terhambat karena cuaca,”  kata Rahardjo pekan lalu.

Sementara, permintaan batu bara dari beberapa negara yang mengalami musim dingin, seperti China masih tinggi. Selain itu, permintaan tinggi juga berasal dari negara-negara ASEAN sebagai sumber energi pembangkit listrik, salah satunya dari Vietnam.

Sebagai informasi, nilai HBA diperoleh rata-rata empat indeks harga batu bara yang umum digunakan dalam perdagangan batu bara dunia, yaitu Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya. (bir)

source: cnnindonesia.com

Categories
Berita Media

Tahun Ini, Ekspor Batubara Naik 7 Ton

SEMAKIN MEMBAIK: Meningkatnya permintaan batubara di sejumlah negara ikut mendongkrak naiknya harga di pasaran Indonesia.

JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan volume ekspor batubara tahun ini sebesar 371 juta ton, naik 7 juta ton dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai 364 juta ton. Dengan mengacu asumsi harga batubara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar US$ 80 per ton, nilai ekspor batubara tahun ini diperkirakan sekitar US$ 29,68 miliar atau setara Rp 398,45 triliun (kurs US$ = Rp 13.425).

Sementara itu, Kementerian ESDM menetapkan harga batubara acuan (HBA) pada Januari 2018 sebesar US$ 95,54 per ton. HBA tersebut naik 1,6% dibandingkan Desember 2017 yang ditetapkan sebesar US$ 94,04 per ton. Kenaikan harga batubara disebabkan meningkatnya permintaan di sejumlah negara seperti Vietnam, Tiongkok, dan India. Tahun lalu, asumsi harga batubara dalam APBN-Perubahan 2017 ditetapkan sebesar US$ 75 per ton, sementara rata-rata HBA sepanjang 2017 sebesar US$ 86,2 per ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, target produksi batubara tahun ini mencapai 485 juta ton, meningkat 5% dibandingkan realisasi produksi 2017 yang mencapai 461 juta ton.

Dia menegaskan, pemerintah mengendalikan produksi batubara melalui persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Dengan begitu, pelaku usaha tidak bisa semaunya meningkatkan produksi. “Untuk 2018, pemerintah memberikan toleransi, kemungkinan kenaikannya 5% dari realisasi tahun 2017, kira-kira 485-an juta ton,” kata Bambang dalam jumpa pers pencapaian subsektor mineral batubara 2017 dan outlook 2018, di Jakarta pekan lalu.

Bambang menuturkan, produksi 485 juta ton itu tidak sepenuhnya dikirim ke luar negeri. Pasalnya, ada kebijakan untuk pemenuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) sebanyak 114 juta ton. Dengan demikian, kuota ekspor batubara tahun ini mencapai 371 juta ton.

Dia menuturkan, DMO tahun 2017 sebenarnya ditetapkan sebesar 121 juta ton, namun realisasinya hanya 97 juta ton. Hal ini lantaran belum semua proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) beroperasi dan daya serap industri menurun. “Jadi enggak semua produksi diekspor. Ada DMO,” ujar dia.

Realisasi produksi batubara pada 2017 pun di bawah target 477 juta ton, yakni sebesar 461 juta ton. Menurut Bambang, ada berbagai faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target produksi tahun lalu, di antaranya faktor cuaca hingga ketersediaan alat berat. “Untuk beli alat tambang itu saja inden sekitar setengah tahun,” ujarnya. (*)

Source: http://id.beritasatu.com/energy/2018-ekspor-batubara-371-juta-ton/170611

Categories
Berita Media

HBA 2017 Naik, PLN Malah Merugi

JAKARTA – Kenaikan harga batu bara acuan (HBA) sepanjang 2017 membuat kinerja keuangan PT PLN (Persero) terus tertekan. Pasalnya,  peningkatan komponen biaya produksi tidak diimbangi tambahan pemasukan.

Dilansir dari dunia-energi.com,   Supangkat Iwan Santoso, Direktur Pengadaan Strategis PLN, mengungkapkan kondisi harga batu bara memberikan pengaruh signifikan terhadap keuangan PLN. Apalagi pembangkit listrik PLN saat ini didominasi pembangkit bertenaga  batu bara. “Pastilah (berpengaruh), karena biaya kami kan berapa persen dari batu bara. Pengaruhnya sangat signifikan,” kata Iwan.

Tidak tanggung-tanggung, selama 2017 kerugian yang dialami PLN bahkan mencapai Rp14 triliun. Angka tersebut diakibatkan HBA yang diasumsikan dalam RKAP US$ 60-an per ton, pada realisasi mencapai sekitar US$ 80-an per ton. “Nah ketika rata-rata di US$ 80 per ton sekian, itulah yang dampak menjadi Rp 14 triliun. Tapi kami tidak bisa minta ganti nih, subsidi sudah tidak ada,” kata Iwan.

Untuk mencegah kerugian lebih besar pemerintah memfasilitasi PLN dan pelaku usaha tambang batu bara untuk  menetapkan sistem atau formulasi yang pas bagi semua pihak. Namun hingga sekarang belum ada kesepakatan antara PLN dan pelaku usaha. “Jadi nanti mana yang fair, kami juga harus paham apakah pake cost plus margin, apakah pakai indeks ICP,  atau pakai HBA diskon. Tapi belum (diputuskan),” ungkap Iwan.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), mengungkapkan fluktuasi harga batu bara harus tetap diperhatikan dalam penetapan regulasi nanti. Formulasi diharapkan bisa mengatasi dampak dari perubahan tersebut.

“Kami cari yang terbaik, kalau dari sisi kami ya tentunya perspektifnya beda. Jadi pasti harga perlu dipertimbangkan juga, dan fluktuasi harga juga,” kata Hendra.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, masih belum mau berkomentar banyak mengenai formulasi harga batu bara untuk pembangkit. “Menunggu kesepakatan mereka kan (Pengusaha dan PLN). Mereka nanti bicara dulu, nanti dirapatin lagi,” tandas Bambang. (*)

 

Categories
Berita Media

Aceh Protes Perda Tambang

PENGUSAHA yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) mengkritik keputusan Pemerintah Provinsi Aceh perihal penerbitan rancangan peraturan daerah (perda) tentang tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasalnya, perda itu justru akan membuat Aceh tidak menarik lagi bagi investor pertambangan.

Demikian hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif APBI Supriyatna Suhala dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (9/2). Menurutnya, selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor, perda itu juga bertabrakan dengan UU Minerba (UU Nomor 4 tahun 2009) yang mengatur soal besaran royalti.

“Ini jelas sangat memberatkan pertambangan mineral dan batu bara. Pasalnya belum lagi menyusul rencana pemerintah pusat yang akan menaikkan royalti pertambangan,” ujar Supriyatna.
Ia menjelaskan bahwa situasi bagi pengusaha bakal bertambah berat karena Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana menaikkan royalti. “Kalau pusat naik daerah juga mau menaikkan, berapa persen itu totalnya? Jelas sangat memberatkan,” tegasnya.

Apalagi menurutnya, batu bara di Aceh kualitas dan kadar kalorinya rendah dengan harga yang tidak begitu tinggi, di kisaran US$30 hingga US$40. Pasarnya juga tidak kompetitif karena cuma ke India. Karena itu, dengan dibebani berbagai macam pungutan jelas membuat bisnis pengusaha semakin sulit.  “Kalau kedua-duanya diterapkan, royalti pusat naik dan ada perda, saya kira enggak akan ada pengusaha yang bisa hidup,” ungkap dia.

Menurut Supriyatna, sudah banyak pengusaha yang mengeluh karena sulit untuk bisa bertahan dengan beragam regulasi yang memberatkan. Hitungan Pemerintah Aceh bahwa pengusaha menikmati keuntungan menambang batu bara hingga 95% juga dia nilai sebagai hitungan yang tak jelas dasarnya. Dalam bisnis pertambangan, untuk biaya pengupasan tanah (prastriping) hingga biaya memasukkan batu bara ke kapal mencapai US$27,5.

Apalagi kalau kemudian ditambah biaya royalti sebesar 5% atau sebesar US$1,35 per ton plus biaya kompensasi sebesar 5% dan biaya community development sebesar 2%. Berdasarkan hitungan itu, biaya produksi per ton batubara kalori 5100 bisa mencapai lebih US$ 30. “Dengan hitungan ini, apa yang didapat pengusaha?” tegasnya. (*)

Categories
Berita Media Slider

Soal Larangan Ekspor, Pemerintah Belum Kompak

TENGGARONG – Belum lagi larangan ekspor batubara mentah diberlakukan mulai 12 Januari 2014, tahun 2013 pun sudah menjadi tahun yang buruk bagi pengusaha dan pekerja tambang batubara di Kaltim.

Anjloknya harga batubara di pasar internasional membuat pengusaha emas hitam tidak bisa menutupi ongkos produksinya. Sehingga langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu opsi yang harus diambil. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kukar, sepanjang 2013 ini tercatat 1.439 karyawan tambang di PHK oleh 14 perusahaan yang wilayah operasinya di Kukar.

Kepala Disnakertrans Suriansyah HM melalui Kabid Hubungan Industrial dan Syarat-sayat Kerja, Panut mengungkapkan, rata-rata perusahaan yang melakukan PHK adalah kontraktor jasa pertambangan, bukan pemilik atau pemengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Meski demikian, Panut enggan menyebutkan 14 nama perusahaan tersebut. “Anjloknya harga batu bara sejak awal 2013 ini mengakibatkan PHK kepada 1.439 karyawan di Kukar,” ucapnya saat ditemui Koran Kaltim, kemarin.

Jumlah ini dua kali lebih banyak ketimbang jumlah karyawan yang di PHK pada 2012 lalu. “2012 lalu itu sekitar 500 karyawan yang di PHK. Namun di 2013 ini ada 1.439 karyawan yang di PHK. Sedangkan pada 2011 lalu sangat sedikit karyawan yang di PHK, namun jumlahnya saya lupa. Tapi yang pasti sangat sedikit karena saat itu harga batu bara masih sangat normal,” ucapnya.

Dari 14 perusahaan tersebut, banyak perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Samboja yang melakukan PHK karena di wilayah tersebut, sebab tingkat kalori di kecamatan tersebut dinilai rendah. “Untuk pembayaran pesangon, hampir semua sudah selesai. Hanya beberapa yang masih belum tuntas,” akunya.

Rata-rata perusahaan yang melakukan PHK, kata Panut, terlebih dahulu merumahkan karyawannya meski sebagian perusahaan langsung melakukan PHK. Sedangkan untuk kasus PHK yang sempat bermasalah ada 87 kasus dan melibatkaan 850 karyawan. Kasus ini dipermasalahkan karyawan seperti kasus pembayaran pesangon, uang lembur dan lain-lainnya.

Ia juga menilai larangan ekspor batu bara mentah mulai Januari 2014 berdasarkan UU 4/2009 tentang Minerba, maka akan menarik banyak lagi karyawan untuk bekerja. Sebab dengan adanya larangan mengekspor batu bara mentah maka perusahaan akan membuat pabrik pengolahan atau pemurnian batubara.

“Dengan adanya pabrik itu maka perusahaan akan segera mencari tenaga kerja. Di sana kesempatan untuk menyerap tenaga kerja. Jadi perusahaan selain membutuhkan karyawan tambang juga membutuhkan karyawan pabrik. Saya mendukung diberlakukan, meski pihak perusahaan pemengan IUP atau kontraktor jasa penambangan akan sedikit terbebankan. Namun ini adalah kebijakan pusat dan tentu bermaksud baik,” harapnya.

TIDAK KOMPAK

Sementara Fahmy Radhi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta menilai pemerintah tidak solid dan terkesan saling bertentangan terkait larangan ekspor minerba ini. Fahmy memaparkan, kendati sudah sangat terlambat, larangan ekspor mentah  diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap  hasil tambang Minerba di Indonesia.

“Ironisnya, di tengah penolakan larangan ekspor Minerba yang masif, sikap pemerintah justru tidak solid dan terkesan saling bertentangan,” ujarnya.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba tidak akan diundur lagi. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi hasil tambang, juga berkaitan dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang.

Namun, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009. Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah akan menurunkan volume ekspor, karena 62 persen dari total ekpsor Indonesia berasal dari ekspor hasil tambang. Lebih lanjut Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah memberikan dampak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkaan defisit neraca perdagangan. ”Sedangkan Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan untuk meredam gejolak sosial dan ekonomi, pemerintah  akan memberikan kelonggaran pembatasan ekspor bijih mineral bagi perusahaan yang seius membangun smelter di Indonesia,” tukasnya. (ami/rep/kk)

Categories
Berita Media

Birokrasi Rumit, Perusahaan Tambang Malas Investasi

Birokrasi menjadi salah satu masalah yang kerap dikeluhkan calon atau para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Ini pula yang dialami oleh sejumlah perusahaan energi baik lokal maupun asing.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengatakan, investor yang berniat investasi di sektor energi di tanah air harus melewati proses panjang sebanyak 21 perizinan.  “Investasi atau pengembangan sumber-sumber ekonomi Indonesia terlalu banyak perizinan, termasuk di sektor ESDM. Bapak Presiden memerintahkan agar disederhanakan,” papar dia sebelum Rapat Koordinasi (Rakor) Penyederhanaan Investasi di Jakarta Kamis, 26 Juni lalu.
Jero mencontohkan, perusahaan pertambangan wajib mengurus satu per satu perizinan supaya bisa melakukan aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi suatu konsesi tambang.  “Sebuah blok tambang atau sumber minyak harus ada izin operasi, lalu nanti ada izin melewati jalan. Menggunakan alat berat, melewati sungai dan hutan, pemasangan diesel pun ada izinnya sendiri. Belum lagi izin bupati setempat. Inilah yang harus disederhanakan, tapi tetap terjaga dan aman,” ungkap dia.

Categories
Berita Media

Pemerintah Akan Lelang Izin Usaha Pertambangan

Proses perizinan yang harus diurus saat menanamkan investasi di Indonesia mendorong pemerintah membuat kebijakan baru.

Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Thamrin Sihite mengungkapkan jika pihaknya berencana mengubah penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan cara dilelang.

Sistem pelelangan IUP tersebut meniru Badan Usaha Milik Negara (BUMN) batubara yaitu PT Bukit Asam (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). “Izin itu nanti dilelang, kita punya konsep itu, seperti PTBA, Aneka Tambang. Dulu mereka tambang, sekarang ditinggal hasil eksplorasinya ada,” kata Thamrin.

Dia mengakui jika selama ini dalam penetapan IUP mengalami berbagai masalah, seperti tumpang tindih perizinan. Hal ini yang menyulitkan instansi pemerintah. Sebab itu langkah lelang diharapkan bisa menjadi solusi penerbitan IUP.  “Banyak juga perusahaan wilayahnya tumpang tindih, di sisi lain tumpang tindih ada enaknya. Tapi sisi lain di tambang jadi pusing. Jadi bolak balik di pusat, daerah, pusat,” ungkapnya.

Permasalahan lain di sektor pertambangan terkait dengan renegosiasi kontrak pertambangan yang berjalan alot. Di mana banyak hal-hal yang belum disetujui oleh pengusaha pertambangan atas penerapan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.

Menurut dia hal tersebut karena banyaknya kepentingan antara pengusaha dan pemerintah. “Renegosiasi kontrak, kelihatannya cukup alot, banyak kepentingan, negara, rakyat, pengusaha. Jangan melihat keuntungan sendiri tanpa lihat nasionalis dalam UUD Pemerintah,” pungkasnya. (*)

 

sumber; liputan6.com

Categories
Berita Media

Pajak Tambang Akan Ditarik Duluan

Direktorat Jenderal Mineral Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengubah sistem pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada sektor pertambangan. Rencananya pembayaran PNBP dilakukan sebelum barang tambang dikapalkan
Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Thamrin Shite mengatakan, perubahan sistem pembayaran PNBP tersebut dilakukan karena banyak perusahaan pertambangan yang menunggak PNBP. Ini terjadi karena sistem pembayaran PNBP sebelumnya dilakukan setelah barang tambang dikapalkan.
“Pembayaran PNBP sebelum dikapalkan, dulukan setelah dikapalkan, ini menghindari dari tunggakan yang ada,” kata Thamrin di Jakarta, Jumat, 5 Juli lalu. Dia mengungkapkan perubahan sistem ini juga untuk menggenjot pemasukan dari PNBP. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menetapkan target pendapatan dari sektor tambang naik.
Sementara itu, tutur dia, harga barang tambang dunia kini sedang turun ditambah produksi perusahaan pertambangan ikut susut. “Pendapatan bukan pajak ditinggikan, dari segi pasar harga turun, produksi harga turun, kalau itu turun pendapatan negara bukan pajak kan turun,” lanjut dia.
Sementara untuk perusahaan penunggak pajak, Thamrin mengungkapkan akan dikenakan tambahan bunga sampai waktu yang dibatasi.
Selain itu pihaknya juga telah menggunakan sitem informatika untuk pendataan perusahaan pertambangan. Selama ini ada perusahaan yang tidak sesuai alamat, sehingga menyulitkan jika terjadi masalah dalam penunggakan pajak. “Ada yang menunggak banyak. Malah dia biasanya bayar itu, dihitung bunganya tinggal kita melacak. alamatnya yang nggak jelas. Dengan administrasi yang bagus ini kita bisa melacak, jadi seluruh Indonesia kita punya dimana-mana,” ungkap dia.
Sumber: liputan6.com