Categories
Berita

Sudah Bayar Royalti, Pengusaha Salahkan Pusat

SAMARINDA – Tak ingin disebut biang kerok, pengusaha batu bara balik menuding pendataan pertambangan di pemerintah pusat yang amburadul. Sebab, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) mengklaim selama ini sudah menyetor royalti dan iuran tepat waktu.

“Mau yang bayar royalti itu kontraktor atau pemilik IUP, mestinya tak ada masalah. Kan pendataan sistem online,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda, Eko Priyatno.

Menurutnya, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit royalti, ditemukan banyak perusahaan belum membayar. Padahal mereka sudah menyetor melalui kontraktor. Celakanya, pemerintah pusat seakan tak mau repot, lantaran nama kontraktor tidak terdata di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mereka lalu dianggap belum membayar.

Padahal, sistem pembayaran royalti sudah online. Sejatinya, ketika kontraktor maupun pemilik IUP membayar kewajibannya itu di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), langsung sudah terdata di Kementerian ESDM. “Kami juga bikin tembusan ke Kementerian ESDM, kalau bayar royalti di Kemenkeu. Tapi kadang, mereka (Kementerian ESDM) selalu menanyakan bayar royalti yang mana. Kan aneh,” paparnya.

Harusnya, lanjut dia, petugas Kementerian ESDM tak perlu menanyakan pembayaran royalti itu untuk produksi batu bara di lokasi mana atau tahun berapa. Ketika membayar kewajiban di Kemenkeu, semua sudah terdata dengan detail. “Ada yang tidak sinkron antara Kemenkeu dan Kementerian ESDM. Sehingga hasil audit BPK menyebut banyak IUP belum bayar royalti,” ujarnya.

Eko membeberkan, persoalan lain juga kerap terjadi di pusat. Seperti ketika sudah membayar royalti di Kemenkeu, Kementerian ESDM  merespons tembusan penyetor selalu lambat. Ke depan harap dia, siapa pun yang membayar royalti, ketika rekonsiliasi pertambangan bisa disinkronkan. Sehingga pengusaha yang sudah bayar royalti tak lagi disebut sebagai pengemplang pendapatan negara.

Ia menyebut, pertambangan di Samarinda sudah cukup baik. Di kota ini bila pengusaha hendak menjual batu bara akan mendapatkan berita acara penjualan. Surat yang dikeluarkan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Samarinda, juga wajib menyertakan bukti pembayaran royalti. “Tanpa bayar royalti, batu bara enggak bisa dijual,” sebutnya.

Dikatakan, banyaknya perusahaan yang belum membayar royalti dan mengantongi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perlu dilihat ulang. Apakah benar perusahaan itu sudah beroperasi? “Jangan-jangan IUP-nya sudah mati dan terdata belum memiliki NPWP,” katanya.

Ia membeberkan, banyak perusahaan yang namanya berpindah tangan, tapi tidak terlapor di Kementerian ESDM. Sehingga nama IUP yang lama tidak diubah. Sehingga perusahaan itu dianggap belum memiliki NPWP. “Pendataan di pusat saya rasa yang kurang teratur,” ungkapnya.

Sebagai pengusaha tambang, Eko mengakui di Kota Tepian juga ada sebagian kecil pengusaha batu bara yang bandel. Tapi jumlahnya tidak banyak. “Kalau dipersentasekan, sekitar 10 persen lah,” ungkapnya.

Senada, pengusaha batu bara lainnya, Arifful Amin menambahkan, hampir dipastikan semua pemilik IUP memiliki NPWP. Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada IUP tanpa NPWP. “Kan ketika mendirikan IUP itu wajib melampirkan NPWP sebagai syarat,” bebernya. “Begitu juga saat pengajuan IUP eksplorasi atau produksi, wajib menyertakan NPWP. Kalau tak ada NPWP, tak masuk akal,” lanjutnya.
Diketahui berdasar data yang diterbitkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kaltim, dari total 1.206 IUP, sebanyak 145 perusahaan belum mengantongi NPWP. Menurutnya, data itu rada aneh. “Dari mana data itu. Mana mungkin mengurus IUP tanpa NPWP,” imbuhnya.

Pengusaha yang berdomisili di Balikpapan ini sepakat dengan pernyataan Eko. Dia menyebut, siapa pun penyetor royalti, baik pemilik IUP maupun kontraktor, mestinya bukan menjadi masalah. Sebab sistem pembayaran sudah online.

Menurutnya, banyak konsesi di Kaltim ditambang oleh kontraktor, karena alasan pemilik IUP minim modal. Sehingga mereka mencari investor untuk menggarap lahan. Akhirnya yang membayar kewajiban pemilik konsesi itu adalah kontraktor.

Arifful menjelaskan, sebenarnya mendata siapa saja yang belum membayar royalti itu sangat mudah. Tinggal komitmen pemerintah pusat saja mau repot atau tidak. “Kalau kontraktor yang bayar royalti, tinggal disinkronkan saja dengan pemilik IUP. Kan beres. Ini persoalan teknis saja,” paparnya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kaltim Datuk Yasir Arafat menuding, pengawasan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi penyebab karut-marutnya pertambangan di daerah ini.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini meminta, pemprov perlu membuat tim gabungan untuk mengawasi pertambangan. Tim ini berfungsi memastikan perusahaan membayar royalti, memiliki NPWP, dan telah menempatkan jaminan reklamasi (jamrek).

Menurutnya, tim gabungan juga bisa mengawasi operasi produksi sebuah perusahaan. Sebab keberadaan inspektur tambang di daerah ini yang minim jadi salah satu penyebab mengapa pertambangan kerap tak memerhatikan lingkungan.

Minimnya inspektur tambang, kata dia, memengaruhi lemahnya pengawasan. Dengan demikian, pengusaha akan memanfaatkan kelemahan itu. Faktanya, sejumlah perusahaan di Kaltim menunggak royalti dan iuran sebesar Rp 3,3 triliun. Ini kebocoran pendapatan negara yang besar.

JAMREK TERLALU KECIL

Sebagian besar perusahaan telah menempatkan jamrek, tapi masih banyak lubang bekas tambang belum ditutup. Pemerintah yang juga punya kewajiban menggunakan dana jamrek untuk mereklamasi pascatambang, belum tegas melakukannya.

Masalahnya ternyata bukan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang tak mau mereklamasi. Tapi nilai jamrek yang terlalu kecil, sehingga tidak cukup membiayai pascatambang. “Pemerintah bisa menggunakan jamrek untuk menutup tambang. Tapi apa mereka mau dengan dana yang kurang? Makanya, pemda perlu menekan perusahaan,” ucap pengusaha batu bara yang berdomisili di Balikpapan, Arifful Amin.

Ia menegaskan, pembayaran jamrek ke pemda saat ini sudah sangat terbuka dengan melibatkan salah satu bank. Pembukaan rekening juga ditandatangani pihak pemda bersama pemilik IUP. “Jadi tidak mungkin dananya bisa dicairkan demi kepentingan pribadi,” jelasnya. “Proses pencairan wajib melibatkan pemilik IUP dan pemda,” sambungnya. (*)

Categories
Berita Slider

Permintaan Batu Bara Meningkat

KANTOR Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Balikpapan mencatat, sepanjang triwulan IV tahun lalu, sektor produktif masih mendominasi pertumbuhan kredit perbankan di wilayah Balikpapan.

Data yang dirilis BI menunjukkan pertumbuhan kredit produktif sepanjang triwulan IV mencapai angka 15, 4 persen, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kredit non produktif yang mengalami pertumbuhan sebesar 12, 4 persen.

Dikatakan Kepala KPw BI Balikpapan Mawadi BH Ritonga, pertumbuhan kredit produktif utamanya didorong oleh pertumbuhan kredit sektor pertambangan yang mencapai 29 persen pada periode tersebut. Angka tersebut, dijelaskan Mawardi mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan triwulan sebelumnya yang hanya 11, 4 persen.

Dirinya melanjutkan, tren pertumbuhan kredit sektor pertambangan ini didorong oleh permintaan batu bara yang meningkat pada akhir tahun 2013 silam. “Memang pada saat akhir tahun kan bertepatan dengan musim dingin sehingga permintaan batu bara juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi,” katanya.

Kendati tren pertumbuhan kredit sektor pertambangan mulai menunjukkan tren prositif, Mawardi masih enggan menyebut sektor ini sudah benar-benar pulih. “Kami akan lihat data awal tahun nanti, apakah memang stabil,” ujarnya.

Di sisi lain, Mawardi berharap, kebijakan Pemerintah untuk membatasi ekspor batu bara dengan kalori rendah tahun ini tak banyak berpengaruh terhadap kredit sektor pertambangan di Balikpapan maupun Kaltim. “Kita kan tahu bahwa sektor pertambangan merupakan lokomotif utama penggerak ekonomi Kaltim, sehingga kami berharap tidak akan terjadi penurunan yang signifikan dengan peraturan tersebut,” jelasnya.

Mawardi menambahkan, pembukaan kantor cabang operasional perbankan jelang akhir tahun kemarin cukup memicu pertumbuhan kredit di Balikpapan. Apalagi, lanjut Mawardi, pada akhir tahun lalu, beberapa perbankan memang banyak yang berusaha untuk menggenjot target penyaluran kreditnya.

Tercatat, sampai akhir tahun lalu ada 220 jaringan kantor perbankan yang beroperasi di wilayah Balikpapan yang meliputi Kota Balikpapan,  Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Tana Paser. Meskipun mencatatkan pertumbuhan yang cukup besar, pangsa kredit sektor pertambangan masih berada di bawah sektor perdagangan yang memiliki pangsa 21,3 persen dengan pertumbuhan sebesar 14,4 persen dari keseluruhan kredit produktif. Sementara pangsa kredit sektor pertambangan hanya 10, 5 persen.

Dilanjutkan laki-laki berkacamata ini, Balikpapan dan Kaltim secara keseluruhan tak boleh hanya mengandalkan sektor pertambangan saja. Sektor-sektor lain, seperti pertanian dan peternakan juga mesti mendapat perhatian lebih. Tercatat, pangsa kredit di sektor pertanian baru mencapai 2 persen. “Padahal kalau kita amati potensi di sektor ini (pertanian, Red) sangat besar,” pungkasnya. (*)

Categories
Berita Media

Aceh Protes Perda Tambang

PENGUSAHA yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) mengkritik keputusan Pemerintah Provinsi Aceh perihal penerbitan rancangan peraturan daerah (perda) tentang tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pasalnya, perda itu justru akan membuat Aceh tidak menarik lagi bagi investor pertambangan.

Demikian hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif APBI Supriyatna Suhala dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Minggu (9/2). Menurutnya, selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor, perda itu juga bertabrakan dengan UU Minerba (UU Nomor 4 tahun 2009) yang mengatur soal besaran royalti.

“Ini jelas sangat memberatkan pertambangan mineral dan batu bara. Pasalnya belum lagi menyusul rencana pemerintah pusat yang akan menaikkan royalti pertambangan,” ujar Supriyatna.
Ia menjelaskan bahwa situasi bagi pengusaha bakal bertambah berat karena Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berencana menaikkan royalti. “Kalau pusat naik daerah juga mau menaikkan, berapa persen itu totalnya? Jelas sangat memberatkan,” tegasnya.

Apalagi menurutnya, batu bara di Aceh kualitas dan kadar kalorinya rendah dengan harga yang tidak begitu tinggi, di kisaran US$30 hingga US$40. Pasarnya juga tidak kompetitif karena cuma ke India. Karena itu, dengan dibebani berbagai macam pungutan jelas membuat bisnis pengusaha semakin sulit.  “Kalau kedua-duanya diterapkan, royalti pusat naik dan ada perda, saya kira enggak akan ada pengusaha yang bisa hidup,” ungkap dia.

Menurut Supriyatna, sudah banyak pengusaha yang mengeluh karena sulit untuk bisa bertahan dengan beragam regulasi yang memberatkan. Hitungan Pemerintah Aceh bahwa pengusaha menikmati keuntungan menambang batu bara hingga 95% juga dia nilai sebagai hitungan yang tak jelas dasarnya. Dalam bisnis pertambangan, untuk biaya pengupasan tanah (prastriping) hingga biaya memasukkan batu bara ke kapal mencapai US$27,5.

Apalagi kalau kemudian ditambah biaya royalti sebesar 5% atau sebesar US$1,35 per ton plus biaya kompensasi sebesar 5% dan biaya community development sebesar 2%. Berdasarkan hitungan itu, biaya produksi per ton batubara kalori 5100 bisa mencapai lebih US$ 30. “Dengan hitungan ini, apa yang didapat pengusaha?” tegasnya. (*)

Categories
Berita Slider

K3LH, Komitmen Bersama demi Keselamatan

HUT ke-2 di tahun 2014 ini kami jadikan momen yang tepat untuk mengikrarkan zero accident atau nol kecelakaan kerja. Ya, bersamaan dengan digelarnya acara syukuran HUT ke-2 yang berlangsung Sabtu, 2 Februari 2014 lalu, jajaran direksi kami membuat komitmen bersama yang dituangkan dalam sebuah papan berbingkai berisi tulisan untuk mewujudkan komitmen bersama tersebut.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Hidup atau K3LH, itulah komitmen yang dibacakan dan disaksikan seluruh karyawan yang hadir pada perayaan dua tahun berdirinya perusahaan kami yaitu PT Bara Kumala, PT Aditama Energi dan PT Sinet.

K3LH sendiri merupakan prioritas tertinggi dan tidak dapat dikompromikan atau di tawar oleh karyawan karena harus diwujudkan secara nyata dalam tugas sehari-hari. “Seluruh karyawan harus memastikan keselamatan diri sendiri, rekan-rekan kerja serta lingkungan hidup, yang hanya dapat dicapai dengan komitmen secara penuh, konsisten dan sungguh-sungguh, dalam menjalankan nilai-nilai serta praktek-praktek kerja yang aman dan lingkungan yang sehat,” begitu tulisan yang tertuang dalam komitmen bersama tersebut.

Karena itulah, manajemen berkomitmen untuk proaktif mempraktekan kebijakan mengenai K3LH ini. Manajemen juga mengimplementasikan standart operation procedure atau SOP kepada seluruh karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan mereka tanggap terhadap kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan perusahaan.

Seluruh karyawan wajib mentaati Undang-undang K3LH, peraturan-peraturan dan kewajiban yang berlaku, memastikan penerapannya mencakup di dalam semua aspek kegiatan kerja dan manajemen kami berupaya mewujudkan komitmen tak hanya dari seluruh karyawan tapi jgua sub kontraktor, supplier juga konsultan untuk menerapkan K3LH sesuai dengan ruang lingkup dan skala pekerjaannya. “K3LH bagi seluruh Karyawan serta semua mitra kerja merupakan tanggung jawab setiap orang,” begitu kalimat penutup dalam komitmen bersama tersebut.

Usai memastikan semua sepakat dengan kebijakan yang sudah dibuat, seluruh direktur utama kami masing-masing H Romli dari PT Bara Kumala, Taufiq Erlangga dari PT Aditama Energi dan Andin Syamsudinsyah dari PT Sinet bersama jajaran direksi lainnya menandatangani papan berbingkai kayu tersebut disaksikan seluruh mereka yang hadir diiringi dengan aplaus sebagai tanda keinginan bersama mewujudkan zero accident. (*)

Categories
Berita Slider

Refleksi Diri di Usia ke-2

TAHUN 2013 berlalu, Januari 2014 pun sudah lewat, itu artinya kami di PT Bara Kumala serta PT Aditama Energi dan PT sinet sudah memasuki tahun kedua saat kalender bulan Februari menunjukkan angka 2 pasca “kelahiran” kami tahun 2011 silam.

Karena itulah, untuk merefleksikan diri atas apa yang sudah kami lakukan sepanjang tahun 2013 lalu, Sabtu 1 Februari 2014 lalu kami merayakan Hari Jadi ke-2 dan tetap dalam suasana sederhana. Acara lebih spesial karena kami rangkai dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, dihadiri komisaris utama, direktur dan manajemen serta seluruh karyawan di halaman parkir kantor PT Bara Kumala job site Sungai Pangkalan, Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegara.

Pukul 11.00 Wita, HUT ke-2 kami mulakan dengan terlebih dulu diawali sambutan oleh Direktur Utama PT Bara Kumala H Romli. “Sebuah kebahagiaan bisa berkumpul lagi di acara ulang tahun yang kedua, sangat tidak tidak terasa. Semoga di usia kedua perusahaan kita ini, kinerja bisa lebih meningkat dan perusahaan bisa semakin baik, karyawan bisa lebih sejahtera,” kata Direktur Utama kami yang diamini seluruh yang hadir saat itu.

HUT ke-2 dan Maulid dengan tema Bangkit Bersatu Mencapai Sukses dengan Meneladani Nabi Muhammad SAW berlangsung dibawah cuaca cerah dan tenda sederhana yang kami dirikan cukup untuk menampung mereka yang hadir, selain petinggi tiga perusahaan dan karyawan juga rekanan kerja dari PT Sinar Kumala Naga, PT Petrona serta tokoh agama dan tokoh kampung Kutai Lama.

H Achmad Husry sebagai Komisaris Utama menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara perusahaan dengan karyawan. Menurut komisaris kami tersebut, seluruh direksi mulai dari PT Bara Kumala, PT Aditama Energi sampai PT Sinet sangat memperhatikan karyawan dan mau berkorban serta memperjuangkan kesejahteraan karyawan. “Dengan begitu tinggal bagaimana karyawan saja lagi, memiliki rasa bangga dan memberikan lebih kepada perusahaan ini, bekerja sepenuh hati, berkonsentrasi dalam setiap pekerjaan yang dilakukan demi tercapainya tujuan bersama, sukses bersama,” ucap beliau yang jadi motivasi bagi kami semua.

Diharapkan pula karyawan tidak menyembunyikan kesulitan yang dihadapi dan membangun kinerja dengan semangat kekeluargaan, bekerja ikhlas dan tetap senyum. Yel-yel “Bangkit!!!” “Bersatu!!!” yang diucapkan komisaris utama semakin menambah semangat kerja kami semua.

Usai memberikan sambutan yang penuh petuah dan motivasi, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dari Ustadz Zuliansyah dan pembacaan ayat suci Alquran serta tausiyah oleh Ustadz Aspianur atau yang biasa dipanggil Atay. Ustadz Atay menyatak kalau tema yang kami buat sangat tepat yaitu Bangkit Bersatu Mencapai Sukses dengan Meneladani Nabi Muhammad SAW. “Itu artinya dalam keseharian kita baik bekerja maupun di rumah harus meneladani Rasulullah SAW, membangun hubungan baik, beribadah dan berinteraksi sosial,” katanya.

Ustadz Atay juga mengingatkan kepada karyawan agar tak sekadar bekerja dengan mengharapkan sesuatu yang besar misalnya gaji, karena  yang lebih penting adalah reward dari Allah SWT. Ustadz Atay juga mendoakan agar perusahaan kami bisa terus sukses, berprestasi dan sejahtera.

HUT ke-2 dan Maulid yang kami gelar diakhiri dengan makan bersama dengan penuh kekeluargaan dan keakraban. Kami berharap masih bisa terus berjuang dan tahun ini lebih baik dari tahun 2013 yang sudah lewat serta masih bisa merayakan lagi hari jadi di tahun mendatang, amin. (*)

Categories
Berita Slider

UU No 4/2009 Resmi Diterapkan

PEMERINTAH memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Mineral) yang melarang ekspor bahan mentah mulai Minggu, 12 Januari 2014 pukul 00.00 WIB.

Pemerintah dalam rapat terbatas (ratas) kabinet di Cikeas Bogor Sabtu, 11 Januari 2014 lalu memutuskan menjalankan secara penuh UU Minerba.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, rapat terbatas itu diselenggarakan terkait berakhirnya masa transisi UU No 4/2009 tentang Minerba pada 12 Januari 2014.  “Peraturan Pemerintah sebagai perintah UU No 4/2009 untuk melaksanakan UU tersebut,” kata Hatta.

Hatta menjelaskan, PP tersebut pada dasarnya untuk menjalankan UU No 4/2009 dan meningkatkan nilai tambah. Dengan demikian, sejak 12 Januari 2014, pukul 00.00 WIB tidak dibolehkan menggunakan ore (raw material) atau bahan mentah untuk diekspor, melainkan harus dilakukan pengolahan atau pemurnian terlebih dahulu.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah menandatangani PP Nomor 1 Tahun 2014 yang isinya adalah melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.

“Terhitung mulai jam 00.00 WIB, tanggal 12 Januari 2014 dilarang lagi mengekspor bahan mentah tambang atau ore. Tujuannya adalah sesuai dengan roh Undang-Undang tersebut adalah untuk menaikkan nilai tambah,” tutur dia.

Menurut Jero, dalam PP tersebut ada nilai ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Adapun pertimbangan pemerintah mengeluarkan PP tersebut adalah masalah tenaga kerja.  “Jangan sampai tenaga kerja yang susah kita ciptakan terus terjadi PHK besar-besaran,” ungkap Jero.

Selain itu, PP tersebut juga mempertimbangkan ekonomi daerah sehingga implikasi PP diharapkan tidak memberatkan pembangunan ekonomi daerah.

PP ini juga mempertimbangkan agar perusahan dalam negeri tetap bisa menjalankan operasinya bagi yang sudah dan akan melakukan pengolahan.  “Jadi itulah inti PP yang ditandatangani Presiden,” ujar Jero.

Jero berjanji juga akan menjelaskan lebih detail termasuk Peraturan Menteri ESDM, Peraturan  Menkeu dan Peraturan Menteri Perdagangan (Mendag). “Ini sudah berlaku PP dan sudah didaftarkan dalam Lembaran Negara No. 5489 tgl 11 Januari 2014/TLN. Dan ini kami meyakini semua juga yang kami hubungi meyakini UU ini akan baik bagi kita semua,” harapnya.

Menteri Keuangan M Chatib Basri sebelumnya mengakui, pemberlakukan UU Minerba 2009 akan menyebabkan total penerimaan negara dari pajak, royalti dan bea keluar akan hilang mencapai Rp10 triliun pada tahun ini.

Hal ini ditambah dengan penurunan harga komoditas minerba yang telah terjadi pada tahun lalu membuat perusahaan-perusahaan tambang mengalami kerugian cukup besar, sehingga total pajaknya juga akan mengalami penurunan.  “Ada penurunan sebesar Rp9,5 sampai Rp10 triliun di penerimaan negara,” ujar Chatib.

Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM Sukhyar menjelaskan, hilangnya potensi penerimaan negara tersebut lantaran setelah tanggal 12 Januari saat UU Minerba diterapkan, maka akan terjadi penurunan volume ekspor raw material, yang pada akhirnya akan mengurangi jumlah pendapatan negara dari sektor tersebut.

Rapat terbatas yang membahas PP Minerba dihadiri Wakil Presiden Budiono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Perindustrian MS Hidayat, Mensesneg Sudi Silalahi, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Meneg BUMN Dahlan Iskan, Menteri Keuangan M. Chatib Basri, Menakertrans Muhaimin Iskandar dan Mendag Gita Wirjawan. (*)

Categories
Berita Media Slider

Soal Larangan Ekspor, Pemerintah Belum Kompak

TENGGARONG – Belum lagi larangan ekspor batubara mentah diberlakukan mulai 12 Januari 2014, tahun 2013 pun sudah menjadi tahun yang buruk bagi pengusaha dan pekerja tambang batubara di Kaltim.

Anjloknya harga batubara di pasar internasional membuat pengusaha emas hitam tidak bisa menutupi ongkos produksinya. Sehingga langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu opsi yang harus diambil. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kukar, sepanjang 2013 ini tercatat 1.439 karyawan tambang di PHK oleh 14 perusahaan yang wilayah operasinya di Kukar.

Kepala Disnakertrans Suriansyah HM melalui Kabid Hubungan Industrial dan Syarat-sayat Kerja, Panut mengungkapkan, rata-rata perusahaan yang melakukan PHK adalah kontraktor jasa pertambangan, bukan pemilik atau pemengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Meski demikian, Panut enggan menyebutkan 14 nama perusahaan tersebut. “Anjloknya harga batu bara sejak awal 2013 ini mengakibatkan PHK kepada 1.439 karyawan di Kukar,” ucapnya saat ditemui Koran Kaltim, kemarin.

Jumlah ini dua kali lebih banyak ketimbang jumlah karyawan yang di PHK pada 2012 lalu. “2012 lalu itu sekitar 500 karyawan yang di PHK. Namun di 2013 ini ada 1.439 karyawan yang di PHK. Sedangkan pada 2011 lalu sangat sedikit karyawan yang di PHK, namun jumlahnya saya lupa. Tapi yang pasti sangat sedikit karena saat itu harga batu bara masih sangat normal,” ucapnya.

Dari 14 perusahaan tersebut, banyak perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Samboja yang melakukan PHK karena di wilayah tersebut, sebab tingkat kalori di kecamatan tersebut dinilai rendah. “Untuk pembayaran pesangon, hampir semua sudah selesai. Hanya beberapa yang masih belum tuntas,” akunya.

Rata-rata perusahaan yang melakukan PHK, kata Panut, terlebih dahulu merumahkan karyawannya meski sebagian perusahaan langsung melakukan PHK. Sedangkan untuk kasus PHK yang sempat bermasalah ada 87 kasus dan melibatkaan 850 karyawan. Kasus ini dipermasalahkan karyawan seperti kasus pembayaran pesangon, uang lembur dan lain-lainnya.

Ia juga menilai larangan ekspor batu bara mentah mulai Januari 2014 berdasarkan UU 4/2009 tentang Minerba, maka akan menarik banyak lagi karyawan untuk bekerja. Sebab dengan adanya larangan mengekspor batu bara mentah maka perusahaan akan membuat pabrik pengolahan atau pemurnian batubara.

“Dengan adanya pabrik itu maka perusahaan akan segera mencari tenaga kerja. Di sana kesempatan untuk menyerap tenaga kerja. Jadi perusahaan selain membutuhkan karyawan tambang juga membutuhkan karyawan pabrik. Saya mendukung diberlakukan, meski pihak perusahaan pemengan IUP atau kontraktor jasa penambangan akan sedikit terbebankan. Namun ini adalah kebijakan pusat dan tentu bermaksud baik,” harapnya.

TIDAK KOMPAK

Sementara Fahmy Radhi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta menilai pemerintah tidak solid dan terkesan saling bertentangan terkait larangan ekspor minerba ini. Fahmy memaparkan, kendati sudah sangat terlambat, larangan ekspor mentah  diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap  hasil tambang Minerba di Indonesia.

“Ironisnya, di tengah penolakan larangan ekspor Minerba yang masif, sikap pemerintah justru tidak solid dan terkesan saling bertentangan,” ujarnya.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba tidak akan diundur lagi. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi hasil tambang, juga berkaitan dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang.

Namun, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009. Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah akan menurunkan volume ekspor, karena 62 persen dari total ekpsor Indonesia berasal dari ekspor hasil tambang. Lebih lanjut Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah memberikan dampak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkaan defisit neraca perdagangan. ”Sedangkan Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan untuk meredam gejolak sosial dan ekonomi, pemerintah  akan memberikan kelonggaran pembatasan ekspor bijih mineral bagi perusahaan yang seius membangun smelter di Indonesia,” tukasnya. (ami/rep/kk)

Categories
Berita Slider

Smelter, Kebutuhan Dasar di Kaltim

SAMARINDA – Merespons larangan ekspor batu bara mentah mulai 12 Januari ini berdasarkan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba), Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Rai Rangkuti mengatakan smelter atau pemurnian batubara telah menjadi kebutuhan dasar di Bumi Etam.

Hal itu juga atas tanggapan hasil evaluasi dan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Kaltim (LSK) di Kaltim. Dari hasil survei tersebut, secara umum ada persoalan empati yang harus ditangani. Ada empat kebutuhan mendasar yang dibutuhkan Kaltim, yakni terkait persoalan pendidikan, kesehatan, transparansi, dan infranstruktur. “Termasuk infranstruktur yang didesain pemerintah nasional, contohnya pembangunan smelter pada daerah produksi tambang besar,” ungkapnya.

Karena Kaltim merupakan salah satu daerah penghasil batu bara terbesar di Indonesia, pengadaan smelter menjadi sangat penting jika merunut pada larangan ekspor batu bara mentah yang mesti diolah terlebih dahulu sebelum diekspor keluar. Namun, pada kenyataannya saat ini belum ada satupun daerah yang mampu membangun smelter di Indonesia. “Kewajiban membangun smelter bukan pada Pemerintah Daerah (Pemda), tapi pada perusahaan yang nongkrong di Kaltim,” tutur Rai.

Pemda dalam hal ini menurutnya bertugas untuk ‘memaksa’ para perusahaan yang mengeruk emas hitam di Kaltim untuk membangun smelter di Kaltim. “Pembangunanan smelter bukan pakai uang Pemda, tugas Pemda hanya memastikan bahwa UU tersebut berjalan, entah bagaimana caranya,” lanjutnya.

Meskipun instruksi pembangunan smelter tersebut berangkat dari pemerintah pusat, tapi secara detail juklak maupun juknis belum ada untuk daerah. Dirinya khawatir Pemda tidak punya inisitaif. Seharusnya pemerintah daerah kaya batu bara seperti Kaltim sadar bahwa dengan menggunakan smelter bukan merugikan, namun malah akan menguntungkan. Pasalnya di dalam batu bara terkandung mineral lain yang bisa diuangkan. Dengan adanya smelter dapat memilah batu bara tersebut jadi bukan hanya batu bara mentah yang biasa di ekspor. “Ini juga harus diperhatikan. Jangan sampai Indonesia hanya membangun satu atau dua smelter. Bayangkan smelter dibangun di Papua atau di Jawa. Masa’ batu bara Kaltim dibawa ke sana dulu baru diekspor? Biaya transportasi juga akan bengkak. Saya tantang Kaltim untuk membuat smelter di sini sebagai provinsi pengahsil batu bara terbesar. Potensi masih terbuka lebar, Pemda harus ambil langkah Insiatif,” ujarnya.

Mau tidak mau Pemda harus melakukan upaya besar menekan perusahaan tambang di Kaltim dengan menyadari kewajiban untuk membangun Smelter. “Kumpulkan semua perusahaan tambang, carikan solusi terbaik. Apakah mereka harus urunan untuk membangun satu smelter di Kaltim” tandasnya.

Sementara Fahmy Radhi Peneliti Pusat Studi Energi UGM dan Pengurus ISEI Yogyakarta menilai pemerintah tidak solid dan terkesan saling bertentangan terkait larangan ekspor minerba ini. Fahmy memaparkan, kendati sudah sangat terlambat, larangan ekspor mentah  diharapkan akan mempercepat proses hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah terhadap  hasil tambang Minerba di Indonesia.

Misalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa implementasi UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba tidak akan diundur lagi. Pasalnya, selain untuk mempercepat proses hilirisasi hasil tambang, juga berkaitan dengan proses renegosiasi kontrak antara pemerintah dan perusahaan pemegang kontrak karya dalam meningkatkan nilai tambah hasil tambang.

Namun, Menteri Perdagangan Gita Wiryawan terkesan tidak mendukung penerapan UU No 4 Tahun 2009. Gita menyatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah akan menurunkan volume ekspor, karena 62 persen dari total ekpsor Indonesia berasal dari ekspor hasil tambang. Lebih lanjut Menteri Perdagangan mengatakan bahwa pelarangan ekspor Minerba mentah memberikan dampak sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan PHK dan pembengkaan defisit neraca perdagangan. (fac/kk)

Categories
Berita Slider

Perusahaan Skala Kecil, Belum Sanggup Bangun Smelter

SAMARINDA – Akan diterapkannya larangan ekspor batubara mentah mulai Januari 2014 berdasarkan UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), diharapkan oleh pengusaha batubara di Samarinda agar dikaji kembali oleh pemerintah. Sekretaris Asosiasi Pengusaha Batubara Samarinda (APBS) Umar Vaturusi mengatakan, dampak yang akan terasa adalah banyaknya perusahaan yang memberhentikan pekerjanya, bahkan bisa aja ada nanti terjadi PHK massal. Jadi pemerintah diminta untuk miliki solusi terhadap dampak dari UU tersebut.

“Saat ini pelaksanaannya masih tarik ulur karena ada banya pengusaha yang ingin pemerintah untuk menunda penerapan UU itu. Karena pada perusahaan kecil akan sangat terasa sekali dampak dari penerapan UU minerba ini. Sementara di Samarinda pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) masih rata-rata masih dalam skala kecil,” ucap Umar, siang kemarin.

Sementara itu, untuk mengusahakan ekspor batubara yang harus diolah lagi atau dimurnikan, pengusaha harus siapkan modal yang tidak sedikit. Pasalnya, untuk membangun pabrik pengolahan batubara beserta dengan menyiapkan teknologi yang dibutuhkan. Sehingga pihaknya khawatir, bila pengusaha harus melakukan kewajiban pemurnian PHK besar-besaran akan terjadi, karena biaya produksi yang ditanggung perusahaan sangat besar.

“Mengingatkan agar implementasi UU Minerba jangan sampai berdampak kepada pemutusan hubungan kerja secara massal. UU harus dilihat dari semua aspek. Memang UU ini baik tapi harus diperhatikan dampak tenaga kerja tersebut,” paparnya.

Ia melanjutkan, batubara selain diolah menjadi briket juga dapat dijadikan sebagai sumber gas. Pengusaha hanya menambang gas dari batubara yang memiliki kalori rendah. Karena batubara berkalori rendah untuk diekspor pun juga tidak akan laku. “Pengolahan bentuk gas ini sudah dikembangkan di wilayah Papua. Apalagi dua tahun belakangan ekspor dan produksi batubara menurun, karena ada produsen batubara dari negara lain,” tuturnya

Diberitakan sebelumnya, berdasar UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) No 4/2009, perusahaan tambang tidak boleh lagi mengekspor hasil dalam bentuk mentah mulai 2014. Tujuannya agar bahan mentah terebut bisa diolah di dalam negeri dan baru diekspor dalam bentuk setengah jadi atau barang jadi, sehingga nilainya lebih tinggi. Namun, aturan itu banyak ditentang perusahaan tambang. Meski sudah diberi waktu lima tahun sejak 2009 sampai 2014, nyatanya hanya sedikit perusahaan yang betul-betul membangun smelter sejak 2009. Akibatnya, ketika aturan larangan hampir diberlakukan, banyak yang menyatakan belum siap dan minta perpanjangan waktu.

Sementara Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) akan ajukan uji materil atau judicial review terhadap UU Minerba. Uji materi tersebut terkait dengan ditetapkannya larangan ekspor bijih mineral yang mulai berlaku pada 12 Januari 2014. Menurut Ketua Umum Apemindo, Poltak Sitanggang, uji materi ini dilakukan karena larangan ekspor akan menganggu kinerja industri tambang mineral nasional.

“Kami akan ambil tindakan hukum dengan melakukan judicial review terhadap UU No. 4 Tahun 2009 ke MK. Karena industri tambang mineral merasa belum siap di tengah gejolak ekonomi yang ada saat ini,” ujar Poltak Sitanggang belum lama ini.

Selain itu, Poltak berpendapat pemerintah telah melanggar UU 4/2009 itu sendiri. Pasalnya, UU itu mengamanatkan agar renegosiasi kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) dibereskan setelah peraturan dikeluarkan satu tahun. Menurut Poltak, itu artinya pemerintah harus mendahulukan penyelesaian renegosiasi sebelum menetapkan pelarangan ekspor bijih mineral.

Poltak mengatakan, hingga kini pemerintah belum menyelesaikan permasalahan peralihan izin KK ke izin usaha pertambangan (IUP). Mekanisme IUP yang digunakan perusahaan tambang nasional telah berjalan delapan tahun. Sementara itu, mekanisme KK sudah berjalan berpuluh tahun dan belum satu pun perusahaan KK mengubah mekanisme izin sesuai mandat pemerintah.

“Apa pemerintah sudah lakukan itu? Dengan belum diselesaikannya permasalahan peralihan izin KK ke IUP, sebenarnya pemerintah sendiri telah melanggar aturan UU,” ungkapnya.

Menurut Poltak, pada dasarnya industri tambang mineral nasional mendukung kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi, ia menilai kebijakan yang telah diundangkan tersebut seharusnya dibarengi dengan ketersediaan infrastruktur penunjang dalam membangun smelter. Poltak menyampaikan bahwa banyak pengusaha yang merasa terbebani karena selain harus membangun smelter, merekajuga harus membangun power plant. Oleh karena itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberi kelonggaran ekspor bijih mineral pada 12 Januari 2014. Sebab, ia menilai pelarangan ekspor mineral mengganggu kinerja mineral nasional.

“Kami ini para pengusaha tambang, selain ada tuntutan bangun smelter, juga tuntutan bangun power plant,” ungkap Poltak. (pms/ho/kk)

Categories
Berita Slider

Target Kami, Komitmen Bersama Sepanjang 2014

TAHUN 2013 yang baru saja berlalu meninggalkan kesan mendalam kepada kami. Itu artinya sudah dua tahun perusahaan kami berdiri sejak tahun 2011 silam yang membuat kami perlahan namun pasti merangkak dari titik nol menuju kesuksesan.

Kami sangat bersyukur meski dalam usia yang masih muda masih bisa melewati semua rintangan dengan kerja keras dan kegigihan mulai dari tingkat atas hingga bawah. Dari tahun ke tahun kami selalu berkomitmen untuk terus berbuat yang terbaik dan lebih baik agar perusahaan bisa eksis, bertahan di tengah tantangan yang kian berat.

Tahun 2014 akan terasa lebih berat seiring dengan peraturan ketat yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan ekspor batubara, yaitu Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Nomor 4 tahun 2009 yang menurut banyak pengamat ekonomi tak ditaati perusahaan tambang batubara.

UU Minerba telah mengamanatkan perusahaan mengolah dan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri mulai 12 Januari 2014 atau tidak boleh lagi melakukan ekspor bahan mentah. Namun, sejumlah perusahaan meminta pemerintah menunda kewajiban pengolahan dan pemurnian hingga beberapa tahun ke depan kendati perusahaan tambang sudah diberikan waktu sejak 2009 untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter di Indonesia. Akan tetapi, hingga kini, “smelter” belum juga berdiri.

Kami menjadi salah satu perusahaan yang pasti terkena imbas dengan pengetatan undang-undang oleh pemerintah tersebut. Namun seiring dengan datangnya tahun baru 2014, kami sudah berkomitmen bersama untuk terus bekerja meraih hasil terbaik demi kesejahteraan bersama.

Karena itulah agar landasan kerja kami sepanjang tahun 2014 ini jelas, direksi kami di PT Bara Kumala mulai dari Direktur Utama yaitu H Romli, Direktur Umum H Saptoni, Site Manager M Ihsan, Manager CPS Abdul Latief dan Kabag Umum Dewi Sukiyati menandatangani komitmen bersama di tahun 2014 disaksikan para Komisaris Utama kami H Achmad Husry dan H Rusfidi Ardin.

Komitmen tersebut dituangkan dalam secarik kertas yang isinya di tahun 2014 ini kami memasang target baik hauling, crushing maupun loading dan barging sepanjang tahun ini sebesar 1.200.000 metriks ton. Tak hanya itu, sepanjang tahun 2014 ini kami juga bertekad untuk zero accident alias tidak ada kecelakaan kerja yang terjadi. Kesepakatan untuk membuat komitmen tersebut berkonsekuensi pada kerja keras kepada kami semua dan seluruh karyawan pun bertekad mewujudkannya.

Semoga saja dengan kerja keras dan niat baik serta ridha Allah SWT komitmen kami tersebut bisa terwujud dan di tahun 2014 ini yang sudah pasti ada rintangan mengadang kami bisa melaluinya dengan baik. Amin. (*)