SAMARINDA – Tak ingin disebut biang kerok, pengusaha batu bara balik menuding pendataan pertambangan di pemerintah pusat yang amburadul. Sebab, pemilik izin usaha pertambangan (IUP) mengklaim selama ini sudah menyetor royalti dan iuran tepat waktu.
“Mau yang bayar royalti itu kontraktor atau pemilik IUP, mestinya tak ada masalah. Kan pendataan sistem online,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda, Eko Priyatno.
Menurutnya, ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit royalti, ditemukan banyak perusahaan belum membayar. Padahal mereka sudah menyetor melalui kontraktor. Celakanya, pemerintah pusat seakan tak mau repot, lantaran nama kontraktor tidak terdata di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mereka lalu dianggap belum membayar.
Padahal, sistem pembayaran royalti sudah online. Sejatinya, ketika kontraktor maupun pemilik IUP membayar kewajibannya itu di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), langsung sudah terdata di Kementerian ESDM. “Kami juga bikin tembusan ke Kementerian ESDM, kalau bayar royalti di Kemenkeu. Tapi kadang, mereka (Kementerian ESDM) selalu menanyakan bayar royalti yang mana. Kan aneh,” paparnya.
Harusnya, lanjut dia, petugas Kementerian ESDM tak perlu menanyakan pembayaran royalti itu untuk produksi batu bara di lokasi mana atau tahun berapa. Ketika membayar kewajiban di Kemenkeu, semua sudah terdata dengan detail. “Ada yang tidak sinkron antara Kemenkeu dan Kementerian ESDM. Sehingga hasil audit BPK menyebut banyak IUP belum bayar royalti,” ujarnya.
Eko membeberkan, persoalan lain juga kerap terjadi di pusat. Seperti ketika sudah membayar royalti di Kemenkeu, Kementerian ESDM merespons tembusan penyetor selalu lambat. Ke depan harap dia, siapa pun yang membayar royalti, ketika rekonsiliasi pertambangan bisa disinkronkan. Sehingga pengusaha yang sudah bayar royalti tak lagi disebut sebagai pengemplang pendapatan negara.
Ia menyebut, pertambangan di Samarinda sudah cukup baik. Di kota ini bila pengusaha hendak menjual batu bara akan mendapatkan berita acara penjualan. Surat yang dikeluarkan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Samarinda, juga wajib menyertakan bukti pembayaran royalti. “Tanpa bayar royalti, batu bara enggak bisa dijual,” sebutnya.
Dikatakan, banyaknya perusahaan yang belum membayar royalti dan mengantongi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perlu dilihat ulang. Apakah benar perusahaan itu sudah beroperasi? “Jangan-jangan IUP-nya sudah mati dan terdata belum memiliki NPWP,” katanya.
Ia membeberkan, banyak perusahaan yang namanya berpindah tangan, tapi tidak terlapor di Kementerian ESDM. Sehingga nama IUP yang lama tidak diubah. Sehingga perusahaan itu dianggap belum memiliki NPWP. “Pendataan di pusat saya rasa yang kurang teratur,” ungkapnya.
Sebagai pengusaha tambang, Eko mengakui di Kota Tepian juga ada sebagian kecil pengusaha batu bara yang bandel. Tapi jumlahnya tidak banyak. “Kalau dipersentasekan, sekitar 10 persen lah,” ungkapnya.
Senada, pengusaha batu bara lainnya, Arifful Amin menambahkan, hampir dipastikan semua pemilik IUP memiliki NPWP. Dia bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada IUP tanpa NPWP. “Kan ketika mendirikan IUP itu wajib melampirkan NPWP sebagai syarat,” bebernya. “Begitu juga saat pengajuan IUP eksplorasi atau produksi, wajib menyertakan NPWP. Kalau tak ada NPWP, tak masuk akal,” lanjutnya.
Diketahui berdasar data yang diterbitkan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kaltim, dari total 1.206 IUP, sebanyak 145 perusahaan belum mengantongi NPWP. Menurutnya, data itu rada aneh. “Dari mana data itu. Mana mungkin mengurus IUP tanpa NPWP,” imbuhnya.
Pengusaha yang berdomisili di Balikpapan ini sepakat dengan pernyataan Eko. Dia menyebut, siapa pun penyetor royalti, baik pemilik IUP maupun kontraktor, mestinya bukan menjadi masalah. Sebab sistem pembayaran sudah online.
Menurutnya, banyak konsesi di Kaltim ditambang oleh kontraktor, karena alasan pemilik IUP minim modal. Sehingga mereka mencari investor untuk menggarap lahan. Akhirnya yang membayar kewajiban pemilik konsesi itu adalah kontraktor.
Arifful menjelaskan, sebenarnya mendata siapa saja yang belum membayar royalti itu sangat mudah. Tinggal komitmen pemerintah pusat saja mau repot atau tidak. “Kalau kontraktor yang bayar royalti, tinggal disinkronkan saja dengan pemilik IUP. Kan beres. Ini persoalan teknis saja,” paparnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Kaltim Datuk Yasir Arafat menuding, pengawasan dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menjadi penyebab karut-marutnya pertambangan di daerah ini.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini meminta, pemprov perlu membuat tim gabungan untuk mengawasi pertambangan. Tim ini berfungsi memastikan perusahaan membayar royalti, memiliki NPWP, dan telah menempatkan jaminan reklamasi (jamrek).
Menurutnya, tim gabungan juga bisa mengawasi operasi produksi sebuah perusahaan. Sebab keberadaan inspektur tambang di daerah ini yang minim jadi salah satu penyebab mengapa pertambangan kerap tak memerhatikan lingkungan.
Minimnya inspektur tambang, kata dia, memengaruhi lemahnya pengawasan. Dengan demikian, pengusaha akan memanfaatkan kelemahan itu. Faktanya, sejumlah perusahaan di Kaltim menunggak royalti dan iuran sebesar Rp 3,3 triliun. Ini kebocoran pendapatan negara yang besar.
JAMREK TERLALU KECIL
Sebagian besar perusahaan telah menempatkan jamrek, tapi masih banyak lubang bekas tambang belum ditutup. Pemerintah yang juga punya kewajiban menggunakan dana jamrek untuk mereklamasi pascatambang, belum tegas melakukannya.
Masalahnya ternyata bukan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang tak mau mereklamasi. Tapi nilai jamrek yang terlalu kecil, sehingga tidak cukup membiayai pascatambang. “Pemerintah bisa menggunakan jamrek untuk menutup tambang. Tapi apa mereka mau dengan dana yang kurang? Makanya, pemda perlu menekan perusahaan,” ucap pengusaha batu bara yang berdomisili di Balikpapan, Arifful Amin.
Ia menegaskan, pembayaran jamrek ke pemda saat ini sudah sangat terbuka dengan melibatkan salah satu bank. Pembukaan rekening juga ditandatangani pihak pemda bersama pemilik IUP. “Jadi tidak mungkin dananya bisa dicairkan demi kepentingan pribadi,” jelasnya. “Proses pencairan wajib melibatkan pemilik IUP dan pemda,” sambungnya. (*)